February 7, 2011

Labeling

"Hidup glamor memicu seseorang menjadi selektif memilih teman berdasarkan apa yang ia miliki"

Khususnya pada wanita. Begitu ia diperkenalkan oleh seseorang, obrolan akan berlanjut bila orang itu menenteng tas mahal. Hermes, Chanel, Balenciaga, Alexander McQueen Novak, Fendi, Louis Vuitton, Prada, dan sejenisnya. 

Keinginan untuk diakui sebagai kelompok "atas" membuat perempuan haus untuk membeli tas dengan brand yang mewah. Labeling, sebuah kata yang sangat berperan di lingkungan sosial. Membentuk seseorang untuk mengejar labeling tertentu untuk dikenal orang. Di lingkungan saya bergaul, sering kali orang disekitar yang saya belum dan sudah kenal memilih labeling atas dirinya sebagai "orang kelas atas". Tas branded adalah hal yang paling utama. Saya sangat mewajarkan untuk orang-orang yang selalu mengejar tas branded, karena tas dengan brand yang mahal itu dari segi model hingga kualitasnya sangat memuaskan. Saya kalau ada duit lebih, pasti akan memilih tas Chanel dibandingkan tas Topshop. Namun bukan kualitas yang ingin saya angkat disini, melainkan tas branded yang selalu berhasil mengangkat reputasi seseorang. Seorang wanita yang menenteng tas Hermes Birkin (versi asli tentunya) akan lebih dilihat orang lain dibandingkan wanita yang menenteng tas yang ngga jelas brand nya. Sedih lihat kondisi seperti ini? Ini fakta. Saya hidup di Jakarta sehingga saya melihat dari segi wanita muda di Jakarta, saya tidak tahu kalau diluar negeri seperti apa kondisinya. Tentu tidak semua wanita muda di Jakarta seperti ini. Hal ini terjadi hanya di tempat pusat kota anak Jakarta bergaul. Potato Head, Loewy, Dragonfly, Social House, Jack Rabbit, dan sejenisnya. Tempat-tempat ini isinya minuman-minuman dengan harga kelas atas. Mereka men-set tempat itu untuk didatangi kaum kelas atas. Dari harga dan tempatnya yang high class, yang suka bersosialisasi dengan menguras uang akan menyukai tempat ini.
Labeling, sekali lagi berperan penting untuk orang-orang yang suka bersosialisasi di tempat mewah. Semua orang mengejar labeling tertentu. Hal yang saya sesali adalah, orang-orang yang yang berada di kelas atas dan kelas sok atas memilih teman berdasarkan latar belakang keluarnya, tas yang ia pakai, mobil yang ia punya, jam tangan yang ia miliki, dan perlengkapan lainnya. Untung teman saya nggak ada yang seperti itu. Ada sih yang "ingin" seperti itu tapi toh dia tetap mau temenan sama saya yang nggak selalu pakai barang mewah. Waktu saya kehilangan tas di Blowfish beberapa bulan lalu, selagi heboh seluruh security dan teman saya mencari hingga ke pelosok ujung meja, muncul seorang cewe yang temen nya temen saya. Cantik, rambut bagus, tas Gucci (sudah kebaca dia tipikal anak pengejar labeling "atas"), menghampiri dan bertanya "Tas nya hilang? Merek apa sih emangnya?". Saya  menjawab ngasal "LV paling baru gue baru beli". Dengar saya bilang gitu dia langsung heboh. Padahal tas yang ilang saya cuma beli $5, barang sale di Perth. Setuju nggak kalau dia secara nggak langsung minta ditendang kaki nya pake heels dan dijambak sampai pitak? Situasi seperti itu pun masih ada labeling penting atau tidaknya tas itu hilang. Kalau kalian suka ke tempat-tempat yang saya sebutkan diatas, pasti sering lihat orangnya. Saya juga sering lihat, sampai sekarang masih sapa menyapa kalau ketemu dan kadang ngobrol basa basi. Tapi dia, untuk jadi teman saya? Tidak akan. Dia terkenal memilih teman berdasarkan status sosialnya, semakin tinggi, semakin  ia terima. Saya, memilih untuk menjauhi orang dengan kriteria milih-milih teman model seperti itu. Kampungan, kayak orang kaya baru dan noraknya maksimal. Bukan dia saja, banyak yang saya temui seperti itu.

Pekerjaan? Selevel sama saya. Duit banyak darimana? Orang tua.

Trus dependent kayak gitu lo banggain?

Hhhhhh.