July 19, 2016

Ini Baru Self-Centered


Beberapa waktu lalu, saya sedang duduk sendirian sambil sruput kopi di salah satu restoran. Sebelah saya persis duduklah dua wanita yang sedang girl-talk session. Salah satu diantara mereka sedang mengeluh bosennya berumah tangga karena suami nya ternyata jauh dari yang diharapkan dan menyesal telah menikah cepat. Dia pun berandai apabila belum menikah, pasti hal-hal yang ingin di-explore tentu sudah terpenuhi semua. Teman satunya lalu menimpali bahwa orang yang sudah menikah diumurnya sekarang sangatlah beruntung karena gak merasakan susahnya menemukan calon suami. Kala itu hanya bisa diam-diam sok cuek padahal nguping setiap percakapan mereka sedetail-detailnya. Kondisi hidup mereka ini sangat bertolak belakang. Apa yang didapatkan bukan merupakan apa yang diinginkan, ibaratnya rumput tetangga selalu lebih hijau. Sebetulnya percakapan seperti ini tidak hanya sekali saya dengar. Di lingkungan saya pun ada yang seperti mereka. Mengeluh mengenai suatu keinginan yang tidak dimiliki kepada orang yang sebenarnya menginginkan apa yang ia miliki. Pembicaraan ini bisa mengalir dimana saja. Entah kepada peer group sendiri, atau hanya sebagai pembukaan percakapan dengan orang yang baru dikenal atau pun berupa postingan di social media

Pada akun Path contoh nyatanya, saya memiliki teman yang terus mengeluh mengenai kehamilannya. Dimulai dari cerita betapa menyesalnya dia langsung hamil saat baru nikah, ngedumel "kok gini amat sih hamil gak enak bener", sampai celotehan "Ya ampun kangen minum alkohol". Padahal, saya tahu betul bahwa friend common di Path dia itu ada yang sedang struggling untuk bisa hamil. Temannya sendiri. Ibarat apabila kehamilan itu bisa dibeli, pasti berapa pun harganya akan dibayar. Belum lagi masih dalam friend common Path yang sama, ada temannya yang pernah mengalami keguguran berkali-kali. Betapa inginnya mereka bisa dijuluki "bumil", betapa susahnya untuk bisa diposisi dia. Sedangkan yang beneran hamil kerjaannya ngeluh, ngeluh dan mengeluh. 

Kita sebagai manusia ditakdirkan untuk merasa tidak pernah sempurna, makanya sering mengeluh dan terus merasa kurang. Memang tidak salah, karena gimana pun juga kita di setting untuk terus mengembangkan diri, namun kepada siapa kita mengeluh yang terkadang tidak tepat. 

Bercerita keluhan hidup atau "curhat" paling sering dilakukan pada Peer group sendiri, karena peer ini sudah menjadi kelompok yang sudah dipercaya sebagai wadah keluarin uneg-uneg. Namun walaupun maksud kita hanya ingin curhat, alangkah baiknya tetap melihat kondisi individu lainnya saat itu. Nah, ini yang saya lihat kepada dua wanita yang saya jelaskan diatas. Ia mengeluh mengenai kehidupan pernikahan kepada teman yang sangat ingin menikah. Dimana rasa empati nya ya? Bukan hanya dalam bentuk keluhan saja yang terkadang kita melupakan pentingnya memberikan empati kepada orang lain, namun juga masukan yang diberikan hanya atas dasar pengalaman pribadi. Misalnya: "Udah deh buruan nikah jangan kebanyakan mikir. Kayak gue aja nekat tapi malah happy", atau "Jangan punya anak buru-buru deh, ribet hidup lo nanti", atau juga "Jangan kerja di perusahaan kecil, percaya bakalan susah naik jabatan". Menjadi guru & merasa lebih expert dari orang lain itu gak bagus loh. Niat nya sih baik, agar orang ini merasakan bahagia seperti yang kita rasakan atau terhindar dari masalah yang kita hadapi. Namun, kita gak akan pernah tahu apabila orang itu jadi nikah dengan pasangannya karena mendengarkan masukan kita, eh jalan beberapa bulan kemudian cerai karena sebenernya memang gak cocok. Kita juga gak akan pernah tau apabila dia nanti punya anak ternyata sama sekali gak merasakan ribetnya hidup seperti yang kita hadapi. Bahkan, kita juga gak akan pernah tau kalau orang itu ternyata cepat mendapatkan promosi di kantornya, jadi dia gak apes seperti kondisi karir kita. 

Saya tentu nya juga masih belajar untuk bisa bersikap wise agar masukan yang diberikan bukan semata dari pandangan pribadi namun dengan melihat dari kondisi dirinya. Permasalahan yang sama antara satu orang dan orang lainnya cara penyelesaiannya tidak bisa di sama ratakan sih. Harus dilihat dari pribadi dan kondisi masing-masing. Begitu juga terhadap kepada siapa kita akan berbicara. Jangan sampai saat ia lagi down, malah bercerita mengenai keluhan yang sebenarnya tidak ada apa-apa nya dengan masalah yang ia hadapi, atau mengeluh mengenai kerjaan kepada temannya yang sedang jadi pengangguran karena belum mendapatkan pekerjaan.

Semakin banyak saya melihat dan mendengar orang mengeluh kepada orang yang tidak tepat. Semakin jelas bahwa jarang sekali kita bisa menghargai apa yang telah diberikan dan cenderung terlalu fokus pada apa yang tidak dimiliki. Padahal, keluhan terhadap apa yang terjadi pada hidup kita ini bisa jadi merupakan keinginan utama ataupun mimpi seseorang yang ia kejar mati-matian.