December 13, 2010

Orang Kampungan Bukan Berasal Dari Kampung


Kata kampungan itu awalnya digunakan orang kota untuk meledek orang kampung masuk kota. Keluguan orang kampung dengan perbedaan suasana kampung dan kota membuat mereka kebingungan sendiri dan cenderung dianggap "norak" oleh orang kota. Padahal, orang kota masuk kampung juga norak nya akan sama. Stigma mengenai orang kota lebih tinggi derajatnya dari orang kampung membuat kata kampungan itu terkesan rendahan. Padahal konotasi nya itu menjurus pada orang yang linglung dengan suasana baru. Beda suasana dan beda kebiasaan (tata krama, tata bahasa, dan lainnya). Dua hal yang membuat orang kebingungan. 

Dari kebingungan dan kebiasaan yang sulit diubah ini membuat kata kampungan menjadi kata umum untuk meledek orang. Kata baru versi orang kota untuk merendahkan orang lain yang secara tidak langsung membuat perbedaan status sosial menjadi lebih jelas. Untuk segala hal yang diluar batas normal masuk dalam kategori kampungan. Sampai hal kecil seperti volume bicara yang kelewat besar pun bisa disebut kampungan. Kata ini mengalami pergeseran makna. Kampungan bukan lagi orang kampung tapi orang kota yang bertindak abnormal. 

Saya salah satu yang menggunakan pergeseran makna dari kata kampungan itu. Saya tidak bermaksud mengatai orang kampung. Orang kampung itu orang yang tinggal di kampung. Orang kampungan itu ya contohnya kayak orang-orang yang suka pake tas Hermes palsu. Lebih jelasnya: Orang kampung bukan kampungan dan Kampungan bukan orang kampung. Dua hal yang berbeda walaupun bentuknya hampir sama.

Sebenarnya saya gatel banget untuk jabarin siapa aja orang-orang yang kampungan. Tapi kalau saya jabarkan secara jelas, gantian dong saya yang kampungan?


November 22, 2010

Berada Di Pinggir? Memang Bisa?


Saya mengenal diri sendiri secara mendalam, ditambah ketika saya sudah 4 tahun menjalani kuliah di Psikologi, pengenalan mengenai diri itu semakin kuat. Karakter dan sifat saya ketahui mendalam bukan akibat membaca buku yang sebesar otak Einstein, namun dari sesama mahasiswa-mahasiswi yang bersama-sama ingin mengerti mengenai karakter manusia. Di lingkungan Psikologi, semua mahasiswa dituntut untuk melihat latar belakang dari segala bentuk karakter yang ada. Kenapa dia begini karena dibesarkan oleh orang tua yang menomer duakan dia, kenapa ia begitu karena terbiasa dijadikan pusat perhatian. Pengasahan itu yang memulai mahasiswa mahasiswi Psikologi jadi suka sok-sok an mengerti karakter saya. Tapi dari sok-sok an nya itu hampir semua benar. Hebat memang. 

Satu yang perlu digaris bawahi adalah: saya selalu berusaha untuk jadi pusat perhatian. Orang lain mungkin ngga mau mengakui ini. Tapi saya tahu ini sebenarnya kekurangan. Di perkuliahan, saya bertemu dengan orang-orang yang lebih dominan dibanding saya. Padahal saya itu dominannya luar biasa, tapi entah mengapa selama kuliah itu saya sering ngalah apalagi dalam perdebatan mengenai tugas kuliah. Saya suka jadi pusat perhatian, namun saya paling takut dibilang sok tahu. Saya pun tahu otak saya tidak seberapa untuk memperdebatkan permasalahan dengan bahasa sok pintar. Maka itu ketika ego saya sedang mencoba meraih jadi pusat perhatian, tiba-tiba entah stimulus apa yang membuat saya akhirnya mengalah. Tugas kelompok, merupakan salah satu ajang pemilihan siapa anggota yang lebih pintar dan siapa yang tidak. Saya sedikit tidak percaya diri mengenai kepintaran. dalam menghafal. Saya tahu batas kepintaran saya dan saya tahu kepintaran saya di bidang apa, maka itu segala organisasi dari sekolah hingga kuliah saya jalani. Masuk pada tugas kelompok, saya paling sering diam. bla bla bla ansjdhfgeheeiiee blabla blablablablablabala.. Bacot. Saya ngga ngerti mereka ngomong apa. Paling sering terjadi itu salah satu sahabat saya jelasin dengan bahasa yang lebih bisa dimengerti oleh saya. Mengalah untuk jadi pusat perhatian ketika tugas kuliah memang lebih tepat dibandingkan saya ngoceh panjang lebar dan ujung-ujungnya salah. Jadi, saya koreksi kalimat "selalu berusaha untuk jadi pusat perhatian". Maksud saya itu "hampir selalu".

Selain hal diatas, saya itu egois, galak, emosian, kalo ngomong blak-blakan, dan lainnya. Segala kekurangan saya, kecuali kekurangan saya dalam menulis, hampir semua sudah saya ketahui. Setiap ke-egoisan saya timbul, sebisa mungkin saya redam. Terkadang gagal, tapi sering saya tahan. Orang yang sudah terlanjur mengecap saya sebagai orang yang ngga mau kalah kadang ngga nyadar usaha saya untuk menahan hal itu tuh seperti apa. Saya itu sering ngalah. Tapi mungkin ngga gitu terlihat atau emang selalu gagal dimata teman-teman. Atau juga memang keinginan saya selalu disetujui orang sekitar. Jangan lihat saya sebagai orang yang amat terangat sangat tidak mau kalah. Saya memang seperti itu tapi saya selalu coba untuk kontrol. Setiap pembincangan mengenai "mau kemana","ini duit siapa","bagusan pake ini atau itu" yang dimana omongan saya tidak dijadikan result, disitulah saya mengalah. Karena saya tidak pernah kalah. 

Secara keseluruhan, anda bisa nilai, bisakan saya untuk berada di pinggir? 

October 31, 2010

Bagaimana Bisa Begitu dan Kenapa Jadi Begini



Saya penasaran dengan batas-batas pertemanan. Ada grup yang dari awal bentuk sudah punya beberapa rules yang harus dituruti. Contohnya, "teman selalu menjadi nomor satu", "semua masalah tidak ada yang ditutupi", atau "dilarang keras menggebet gebetan temen". Rules itu disetujui oleh seluruh anggota grup dan dijalani bersama dan dibentuk untuk kebahagiaan bersama. Tujuannya biar semua semakin bersatu, solid, dan lainnya. Rules itu dibuat atas dasar pemikiran pendek yang biasanya dirancang saat sedang bersenang-senang. Trus nanti pusing sendiri ketika salah satu anggota grup melanggar. Disini saya ingin bilang bahwa saya tidak setuju dengan adanya peraturan.

Pertemanan kok dibikin kayak sekolah. Dipenuhi berbagai peraturan yang kalau dilanggar bisa mengakibatkan perdebatan panjang. Pertemanan itu apa adanya. Tahu tidak? Pertemanan dengan berbagai rules itu sebenarnya cupu. Segitu takutnya pertemanan itu pecah sehingga harus dibentuk rules. Pertemanan itu ikhlas. Semua masih merupakan individu yang memiliki privasi sendiri-sendiri. Persahabatan itu tidak perlu dibatasi. Karena jalan hidup tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Contohnya, "dilarang keras menggebet gebetan teman dari kelompok kita". Misalnya ini adalah salah satu rules dari grup cowo. Satrio dan Rama berantem karena Satrio suka sama Asha tapi ditikung Rama karena Asha sukanya sama Rama dan Rama juga suka sama Asha. Segitu egoisnya rules itu sehingga Asha yang jadi korban. Asha bisa bahagia namun ditolak karena rules cupu. Satrio, seakan menutup mata untuk lihat sahabatnya sendiri bahagia. Cinta dan pertemanan memang memusingkan. Tapi coba kita redam ego sendiri dan lihat prospek kedepan. Lihat teman bahagia itu membuat kita bahagia juga kan? Satrio yang sakit hati tidak lagi dapat berpikir panjang, sang emosi lah yang berperan dengan menghujat habis-habisan sahabatnya sendiri dan membuat lupa untuk berfikir bahwa Asha itu bukan mainan yang dengan mudahnya disingkirkan begitu saja. Lantas, karena Satrio yang terlebih dahulu suka pada Asha jadi Asha ngga boleh untuk suka sama Rama? Lalu pemecahan masalahnya gimana? Rama yang level otak rendahnya sejajar dengan Satrio pun berkata: "Demi menjaga ikatan pertemanan saya dan Satrio, mari bersama lupakan saja masalah Asha, dengan begitu perselisihan selesai dan satu grup pun senang". Mungkin diantara kalian ada yang lupa, maka disini saya ingatkan kembali, Asha juga punya perasaan. Yes. Segitu egoisnya rules pertemanan sehingga pihak ketiga yang disakiti. Segitu pentingnya ego manusia. Segitu childish nya rules pertemanan. Segitu bodoh orang-orang yang menjadi anggotanya.

Saya menulis ini karena saya sedang menjelma menjadi Asha. Terimakasih banyak. Pada kalian berdua.

August 7, 2010

Orang-Orang Di Balik Gelar S.Psi


Sekarang ini saya lagi makan mcd dirumah, sendirian. Nunggu waktu wisuda yang masih 2 minggu lagi. Kegiatan, ngga ada. Kecuali nonton dvd dirumah dan pergi keluar. "istirahat pasca skripsi" masih dijadikan alasan mengapa saya masih jobless dan hidup tenang tanpa tujuan. Ngga ada kegiatan tiba2 saya jadi buka-buka foto di files laptop dan menemukan foto2 semasa kuliah dengan "cerita2" yang seru. Kangen. Suka duka yang saya rasakan bersama teman2 kuliah itu pengalaman yang sangat berharga.

Banyak yang saya pelajari dari masa perkuliahan ini.
Pertemanan, kemandirian, sampai pola belajar saya berubah selama perkuliahan.
Banyak banget momen yang seru plus nyebelin yang kalo diinget sekarang jadi sedih. Pengen ngulang lagi.

Belajar nyebrang jalan, ngeborong sepatu murah di Detos, cabut kelas rame2 untuk makan di citos/kemang/bahkan untuk main di dufan, bareng lene pulang ke kos mabok sampe yang jaga tempat kos marah (gue doang sih yang mabok, dia nggak), digosipin pilih2 temen , kerjain tugas rame2 sambil nginep rumah muti (temanya: makan dan curhat), belajar bareng dirumah putul tiap UTS & UAS, dan bbbbbanyak lagi.

Saya punya peer group yang seru. Bukannya maksud nge geng, tapi kan pada dasarnya kita temenan sama orang yang punya kesamaan. Kesamaan kita cuma satu: GILA. 
Kita itu punya jokes antar kita doang tapi suka keceplosan kedengeran sama anak2 lain, yang jatohnya kedengerannya jadi ngga enak. Jokes nya itu kita semua anak konglomerat. Orang kaya raya semua. Bayangin aja Uthe itu yang punya Plaza Senayan. Saya punya private jet. Kita semua ngga ngerasain macet karena pake helikopter. Kadang2 kita keluar negeri cuma buat makan trus pulang lagi.

Nah anak2 konglomerat ini adalah: Lene, Uthe, Putul, Rachel, Kiki, Muti, Jawa, Laili, Milka, dan Mita (maaf para konglomerat lain yang ngga kesebut, lupa)

Orang-orang gila ini juga masuk dalam kelompok belajar saya. Suka duka paling kerasa pas pengerjaan tugas KAUP (Konstruksi Alat Ukur Psikologis). Lene dan Putul, duo anak rajin ini lama2 kesel sama kita gara2 mereka mulu yang ngerjain. Muti yang ngga bisa diem akhirnya sampai pada titik klimaks dimana dia mecahin lampu belajar lene karena lari2an dikamar. Saya juga ikut dimarahin karena malah main BB saat yang lain lagi sibuk konsultasi sama dosen.

Pengalaman itu terus terekam dalam ingatan saya. Sekarang, semua udah berakhir.  Semua udah harus hidup di jalan masing-masing dengan pekerjaan yang berbeda-beda. Ada yang lanjut S2, kerja jadi shadow teacher, HRD, dan lainnya. Masa kuliah yang main-main itu telah usai. Class dismissed! Inilah orang-orang dibalik gelar S.Psi nya. Bangun pengalaman bersama dengan modal haha-hihi dan sistem belajar hanya untuk UTS & UAS. Kini balik pada kehidupan masing-masing. Mulai merintis karir dengan mempraktekkan segala ilmu yang telah diserap bersama.

Thanks a lot untuk kalian semua. serta semua anggota fakultas Psikologi dari anak 2006, dosen, satpam dan lainnya. Kita semua pada akhirnya mendapat gelar S.Psi. Namun pengalaman proses meraih gelar itulah yang harus diingat, karena pelajaran berharga bukan didapat dari buku, namun dari pengalaman hidup, dan 4 tahun terakhir ini salah satunya.

Kita semua masih gampang untuk ketemu, namun pengalaman selama kuliah itu tidak akan bisa diulang. Jangan lupa, suatu saat nanti, kita semua akan menjadi konglomerat, persis seperti mimpi kita. AMIN.

Best regards,
Keinda Fauri

February 15, 2010

Drama Skripsi


Saya kini berada di semester akhir dan sedang menjalani skripsi. Wow! Akhirnya saya harus menghadapi yang namanya Skripsi. File skripsi saya namakan "Happy Skripsi!". Bukan hanya di laptop tapi untuk judul catatan file skripsi pun judulnya itu. Tujuannya, agar mengembangkan citra positif pada diri sang "skripsi" yang menurut saya cukup dirusak oleh orang-orang yang juga sedang menjalaninya. Saya ngga mau dari awal udah anti denger nama skripsi kayak beberapa temen saya. Buat apa kita bikin diri sendiri membenci nama skripsi? Ada beberapa mahasiswi di kampus saya yang hebohnya setengah mampus berasa ngerjain proposal skripsi kayak mau kiamat. Bahkan, baru proporsal skripsi. Orang Indonesia, atau hanya anak Psikologi UI, tepatnya, suka menempatkan suatu hal sebagai sesuatu yang berat sekali. Akibatnya, saya ketakutan duluan ketika awal-awal mengambil mata kuliah KAUP (Konstruksi Alat Ukur Psikologis). Jujur, psikologis saya cukup terganggu dari penjelasan senior dan teman saya sendiri yang bilang kalau mata ajaran ini beratnya melebihi skripsi. Padahal, ketika saya menjalaninya, baru deh saya mikir "ni orang-orang lebay banget sih". Tanya nilai saya. Memang bukan A, dan Alhamdulillah bukan C. Tapi sebenernya bisa dijalani tanpa stres yang diakibatkan pemikiran sendiri mengenai betapa beratnya mata ajaran ini. Kini berulang lagi pada skripsi. Tapi saya sudah cukup belajar dari ke-lebay-an orang-orang. Sehingga dari awal saya tegaskan sebisa mungkin tidak membenci skripsi biar menjalaninya juga enak. Tapi gini, saat pembuatan proposal skripsi pun, banyak diantara mahasiswi satu angkatan yang sebenernya saya juga ga tau satu-satu namanya siapa, mulai drama lebay. "aaah gila skripsiiiiiii". Eh, biasa aja kali. Kenapa sih? Pengen ditanya variabelnya apa? Cari perhatian? Atau pengen ikutan stres biar keliatan banget lagi dalam pengerjaan SKRIPSI? Jangan buat diri sendiri membenci yang namanya skripsi karena sebenernya skripsi is fun! Bayangkan aja kita bikin pertanyaan yang sebenernya kita juga penasaran jawabannya apa. Walaupun dalam menjawab diperlukan berbab-bab dalam pengerjaannya, tapi ya jangan menempatkan diri sendiri sebagai pembenci skripsi. Kita jalanin ini sebagai suatu hal yang fun. Suatu hal yang bakal diingat pas udah tua. Jangan bawa stres dari sekarang. Stres itu dateng sendiri kok tanpa diundang, jadi ngga usah ngundang-ngundang stres dengan ke-lebay-an yang nantinya mengganggu psikologis temen lainnya. Siapa tau, kalau kita ngga nganggap skripsi itu berat, hasilnya akan jadi lebih baik. Amin. Happy skripsi semua!