February 5, 2019

Mengepak Sayap Tanpa Batas


Jumat, 9 Januari 2009

--> Semua nama disamarkan demi kepentingan bersama :p

The Trip. Entah apa yang bikin gua pilih pake kaos oblong, stocking bolong, dan heels. Sampe The Trip naik keatas langsung ketemu Bryan yang langsung nyodorin gelas Rock n Roll yang di refill terus kayak air putih. Makin mabok karena nambah shots & "kado special". Mike's selesai main, kita bubar jalan ke Tabac. Sampe Tabac gue cuma numpang dance trus dikasih ornamen bekas xmas, hah udah ganti taun kali. Abis itu gue & Nana dengan ornamen2 yang masih nempel dibadan layaknya pohon xmas berjalan dibawa Bryan ke rumah Dina, bule dari mana tau yang baru kenal tadi. Di mobil makin gila dong pusing nya. Nana juga udah gak jelas bentukannya. Gak kuat jalan, dibopong Bryan langsung dibawa ke kamar tamu numpang tepar dengan harapan dibangunin Bryan pas udah mau pulang. Ternyata, pagi-pagi bangun gue masih dirumah Dina. Rumahnya kosong. Isinya cuma kita bedua dan pembantu plus sampah-sampah bekas beer banyak gila. Kemaren ada party apaan disini gue ngga ngerti. Dina nya aja ngga ada. Bryan apalagi, udah cao brengsek juga tu anak. Liat sekeliling, baru sadar sumpah ini rumah keren abis. Sayang kemaren sampe sini udah black out. Ini aja sekarang hangover parah. Cari panadol sama air putih ketemunya Guinness. Yaudah nge beer lah kita pagi-pagi. Berduaan aja kita bengong di sofa tengah yang GEDE banget. Sofa bekas raja gue rasa. Langit-langit rumahnya tinggi. Dinding penuh sama lukisan keren-keren. Kanan meja makan dari kayu jati, kiri meja billiard, belakang kolam renang. Bosen nge beer kita cabut sambil bilang makasih ke mbak nya yang bingung ngeliatin kita kayak liat setan, fak. Pasti rambut gue kusut banget. Keluar gang nyari restoran tau nya langsung nyampe depan Bread N Breakfast. Oooo ini di kemang toh. Yaudah turun lah kita disana. Semua orang liatin. Tampang make up bekas semalem, gue kaos oblong stocking bolong, bahkan si Nana masih pake boots. Meja sekitar para keluarga bawa anak dan kita punya setting-an muka yang jelas-jelas keliatan belom pulang. Gue aja lupa kapan terakhir gue pulang.

*******

Tulisan diatas ialah salah satu isi diary saya saat sedang dalam edisi gak pernah mau pulang, dan ini salah satu yang "normal" dari sekian cerita di dalam nya. Selene, salah satu temen dekat yang kaget melihat kegilaan saya saat itu kasih buku untuk nulis. Katanya "Kei, tulis deh apa aja yang lo rasain & keseharian lo. Yakin ini bisa jadi salah satu terapi keluarin unge-uneg dan emosi yang gak bisa lo ceritain ke gue", dan dia benar. Dengan menulis, emosi yang ada surprisingly bisa tersalurkan dengan sendirinya. Kala itu, saya berada di fase yang bawaannya pengen berontak. Masa dimana saya gak suka dengan apa yang ada di diri saya. Benci dengan keadaan yang ada, apapun itu. Rutinitas jadi anak kalong yang tiap hari dimulai dari kuliah kreyep-kreyep bekas party semalem, trus ke rumah temen yang jadi basecamp saya di pondok indah untuk nap, bangun untuk dinner, lanjut kamar mandi untuk muntah sampe perut kosong (Yes, saya dulu Bumilia), ganti baju party, pergi kemana pun & sama siapa pun sampai matahari terbit, pulang ke basecamp untuk tidur sebentar, bangun kuliah lagi tanpa mandi kadang baju semalem dengan tambahan cardigan, repeat dari awal lagi. Gitu terus sampai mendadak saya dipaksa meninggalkan itu semua untuk bikin skripsi (untung aja masih ada warasnya). Kondisi jauh dari stabil ini merupakan pemberontakan anak muda dari rutinitas yang selama ini dijalani. Semua harus serba abnormal. Dimulai dari mencari lingkungan baru, menjaga jarak dengan keluarga,  menjadi anak yang bebas tanpa aturan, merombak cara berpakaian, dan segala hal yang bertolak belakang 180 derajat. Kala itu, peer group yang terbentuk dari SMA & kuliah dirasa nggak ada yang merasakan depresi & melihat segala sesuatu dari perspektif yang sama dengan saya. Dimulai dari broken heart, loneliness, keinginan untuk self harm, dan lainnya. Menemukan orang-orang yang memiliki self concept rendahnya sederajat bahkan lebih parah membuat mereka masuk pada comfort zone saya yang baru.

Orang banyak yang berfikir bahwa remaja merupakan fase terberat. Padahal, transisi dari remaja ke dewasa muda yang secara umum dimulai umur 18 - 20 tahun juga harus menjadi perhatian. Ada beberapa diantara mereka melewati nya tanpa kerikil, namun ada juga yang diawali dengan jatuh-bangun seperti saya. Yang nama nya transisi itu pasti butuh penyesuaian. Jika seseorang tidak siap masuk dalam tahap ini, dia akan kesulitan untuk menyelesaikan tahap perkembangannya. Persoalannya bisa luas sekali karena bisa dari segi mana pun. Fase dewasa muda merupakan tahap pertama kemandirian dalam segala hal. Dimulai dari masuk dunia kerja yang kadang menimbulkan keterasingan sosial, memiliki perubahan nilai pertemanan yang ingin diterima pada kelompok sosial & ekonomi tertentu, pertama kali dipaksa oleh orang tua untuk bisa hidup pakai uang sendiri walaupun beberapa ada yang beruntung masih mendapatkan support, dan yang paling terasa ialah merasakan cinta pertama yang banyaknya berakhir dengan broken heart. Mereka yang mengalami gagal dalam salah satu atau beberapa dari perubahan ini akan mengalami yang disebut isolasi, yaitu merasa tersisihkan, kesepian, dan menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain. Ini yang saya rasakan PERSIS. Banyak para dewasa muda awal tanpa sadar mengalami depresi karena merasa perubahan yang muncul terlalu berat untuk dipikul. Ketakutan atau kemarahan dari kegagalan yang ia rasakan tersalurkan dengan pemberontakan yang diakibatkan perkembangan emosi yang belum stabil.

Namanya transisi itu pasti hanya sementara. Perkembangan menjadi dewasa muda seutuhnya akan hadir pada waktunya. Tidak ada patokan umur karena setiap individu berbeda. Pemberontakan yang dilakukan di masa ini memiliki sisi negatif di sosial, yaitu judgemental yang biasanya akan melekat sampai ia dewasa sepenuhnya. Kembali lagi membicarakan pola masyarakat yang suka menilai segala sesuatu dari apa yang terlihat, mereka yang sedang memberontak di masa transisi ini menjadi korban. Selalu ada akibat dari semua perbuatan dan perlu disadari bahwa image yang dibentuk oleh sosial sulit sekali diganti. Dia yang pernah menjadi drugs addicted, dia yang pernah suka tidur sana-sini, dia yang pernah suka naik meja bar, dan contoh lain nya memiliki kesulitan untuk memperbaiki image nya. Saya pun butuh perjuangan untuk menepis persepsi buruk orang-orang. Gak gampang lari dari sanksi sosial. Mereka hanya melihat tanpa ingin mengerti. Korban-korban ini yang harus pintar unjuk diri. Kita hidup memang diatas panggung kok. Namun kalian yang menjadi penonton coba lah untuk bersikap lebih manis. Semua orang memiliki masalah berbeda-beda. Tidak semua orang depresi terlihat murung. Bila menemukan anak muda yang hobi nya begajulan gak karuan, jangan dikatain dong. Apa yang kalian lihat, bisa jadi hanya interpretasi dari tekanan yang dihadapi. Kita hidup sama-sama seharusnya saling support. Khususnya para teman yang malah bicara di belakang bukannya menolong.

Yah, semua memang ada masa nya. Masa muda memang paling seru. Paling gila. Paling bikin geleng-geleng kepala. Tapi disini, disaat momentum terbaik dalam hidup, image baik terhancurkan.