Uniknya korban sosial pada masyarakat Jakarta dalam
mendapatkan pengakuan sebagai status sosial atas kembali menjadi daya tarik
saya untuk posting. Saya awali dengan pengertian asal muasal sampai ada nya
sebutan korban sosial. Di semua Negara, status sosial dibentuk oleh masyarakatnya
sendiri mengenai kedudukan sosial seseorang. Ada dua hal yang menjadi kriteria
nya, yaitu masuk berdasarkan keturunan, misalnya lahir dari keluarga berada
yang secara alami menjadikannya di kelas sosial atas dan atas dasar usaha
pribadi, misalnya dari keluarga sederhana yang berkat kepintarannya masuk pada
kelas sosial atas karena menjadi seorang pengusaha sukses. Status sosial ini
kemudian memiliki penggolongan disebut stratifikasi sosial, yang memudahkan
individu untuk menempatkan diri sesuai kategori nya atau mengejar kategori
tertentu sesuai yang diinginkan. Dari semua, status sosial atas ialah yang
paling dikejar, karena golongan ini lebih dipandang dan dihargai oleh
masyarakat. Karena insting manusia ialah terus berkembang, hal yang wajar untuk
individu terdorong dalam menggapai status yang lebih tinggi. Sayangnya, banyak
yang menduga masuk pada status sosial yang lebih tinggi itu mudah. Sesungguhnya
individu dari kelas sosial bawah yang maksa menjadi kelas sosial menengah akan
dipandang sebelah mata, begitu pun juga individu dari kelas sosial menengah
yang maksa menjadi kelas sosial atas, dijadikan bual-bualan oleh
individu-individu dari kelas sosial atas itu sendiri. Masing-masing status
sosial yang terdiri dari; atas, menengah dan bawah memiliki simbol yang menjadi
kriteria. Hal utama nya ialah harta benda (mis. tempat tinggal, kendaraan
pribadi, pakaian) dan gaya hidup (mis. olahraga kegemaran, cara
bersosialisasi). Simbol ini yang diikuti seseorang dalam mendapatkan gelar
status sosial yang diinginkan. Simbol yang biasanya diikuti ialah yang dapat
terlihat oleh kasat mata. Jadi bukan pada besarnya tabungan, namun pada apa
yang terlihat pada masyarakat, mereka-mereka ini disebut dengan korban sosial.
Misalnya, salah satu simbol wanita kelas sosial atas ialah pake tas Chanel.
Untuk membeli satu buah tas merek ini dibutuhkan uang puluhan juta. Hasrat
ingin memiliki untuk sang korban sosial jauh lebih tinggi dibanding
kemampuannya untuk membeli. Pemaksaan akhirnya terjadi dengan mendewakan pengrajin
tas dari Cina karena mampu membuat tiruan nya dengan harga ¼ dari harga asli.
Korban sosial semakin marak dan semakin tidak terkendali. Fenomena ini sudah
lama terjadi dengan perkembangan simbol sosial yang semakin banyak. Kini bukan
lagi hanya tas, bukan lagi merek mobil, bukan lagi tempat hangout. Yang terbaru
ialah melakukan veneer gigi dengan pilihan warna lebih putih dari putihnya
tembok rumah Inul Daratista di Pondok Indah.
Perkembangan simbol sosial semakin
mudah diikuti dengan maraknya era digital yang bisa diakses oleh siapa saja.
Untuk fenomena veneer warna seputih salju ini dapat dibilang berasal dari para
influencer di Instagram. Sebenarnya veneer bukan hal yang baru dalam dunia
kedokteran gigi. Pertama kali dibuat oleh dokter gigi Charles Pincus tahun 1928
untuk keperluan shoot film di California. Jadi dari awal memang dibuat untuk
kecantikan, karena gigi yang bentuknya bagus, otomatis akan upgrade keseluruhan
muka jadi lebih oke. Apalagi ini instant dan layaknya operasi plastik, bisa mengubah
bentuk gigi jadi lebih sempurna. Nah, di Indonesia baru terkenal sekarang.
Mungkin referensi nya yang salah, kurang informasi atau dokter gigi yang tidak
memberikan konsultasi dengan benar, banyak orang melakukan tindakan veneer
dengan memilih warna dan bentuk yang gak lazim. Either warna nya yang terlalu
putih atau bentuk gigi nya yang gak cocok dengan bentuk muka. Berbeda dengan
orang yang melakukan veneer natural look. Bagus banget hasilnya, sesuai dengan
tujuan veneer itu sendiri. Sayangnya yang lagi marak di Jakarta kali ini bukan
untuk menyempurnakan wajah, namun untuk pamer. HARUS BANGET giginya keliatan di
veneer, mahal soalnya ya kan. Makin berkilau, makin keliatan jadi orang
kaya. Logika melenceng nya kalau gak putih banget gak ada yang sadar kalo
di veneer. Jadi ini lebih pada gengsi. Warna super duper white yang gak
manusiawi dan bentuk gigi menjadi extra panjang dengan tambahan gigi kelinci
menjadi yang paling favorit. Saya sih jujur liatnya pusing. Soalnya kalo lagi
ngomong yang saya liatin ialah gigi nya, seharusnya eye contact kan, tapi jadi
ke-distract. Belum lagi kalo foto bareng pake kamera HP, muka kita bisa
gak keliatan karena flash nya mantul ke gigi sangking shining nya.
Mengubah struktur muka agar lebih baik
itu wajar. Namun sama hal nya dengan kasus operasi plastik, perubahan yang
terlalu signifikan akan membuat muka jadi aneh. Contohnya operasi hidung. Ada
orang yang jadi keliatan baguuus banget hidungnya walaupun kita tahu kalau itu
operasi karena menyatu dengan struktur muka nya. Terbalik dengan yang hidung
nya diubah dengan sangat signifikan, akan membuat keluar dari struktur muka
normal. Untuk veneer, menurut saya akan bagus sekali apabila dibuat natural,
sayang saja veneer malah dijadikan ajang gengsi nasional. Lihat deh
aktor/aktris di hollywood. Hampir semua nya veneer, kayaknya udah sepaket saat
make over di awal karirnya. Tapi karena veneer nya bagus, kita sebagai penonton
fokus nya ke muka, bukan ke gigi. Terganggu loh. Liatnya bikin ganggu
beneran. Muka yang cantik dan ganteng itu dilihat dari pancaran mata nya, bukan
pancaran gigi. Situ mau orang ngobrol fokusnya ke gigi? Apapun yang berlebihan
akan terlihat aneh. Jadi untuk kalian yang ingin melakukan tindakan veneer
gigi, pilihlah yang natural look. Untuk kalian yang tertekan untuk bisa
dipandang sebagai kelas sosial atas, jangan dipaksa ikutin fenomena punya gigi
putih palsu, justru itu yang keliatan maksa. Juga untuk yang memang sudah punya
uang banyak, konsultasi lah dengan dokter gigi yang benar.
Jangan mau lah kau jadi lenong.
No comments:
Post a Comment